Sabtu, 15 Agustus 2015

Peran Mambesak Dalam Menumbuhkan Nasionalisme Bangsa Papua Barat


 
Group Musik Mambesak. Ist.

“Saya tidak mau menjadi budak terus. Biar  saya makan kah tidak kah, saya mau berdiri sendiri” (Arnold C. Ap)

Sejarah Mambesak

Penggagas “Mambesak” Arnold C. Ap menyadari akan pentingnya memertahankan kebudayaan dari ancaman budaya modern. Mereka memahami pentingnya budaya dan berusaha untuk menggunakan musik sebagai sarana untuk menyampaikan hak dasar manusia: kebebasan berekspresi. Mambesak dibentuk untuk merevitalisasi tari tradisional Papua Barat, musik dan lagu dan akhirnya memberikan warna tertentu, bentuk dan inspirasi bagi kelahiran musik dan kelompok tari di seluruh Papua, secara aktif mempromosikan dan memperkuat identitas Papua Barat. Pembentukan ini juga adalah bagian dari ketidakpuasan atas hasil Pepera memperoleh pengesahan oleh PBB yang nampak sekali bahwa pendirian suatu negara Papua Barat yang terpisah dari Indonesia terlalu kecil "peluangnya."

Group music Mambesak atau burung Cenderawasih/burung kuning dalam bahasa Biak, menjadi momentum kebangkitan seni dan identitas bangsa budaya Papua. Sebelum memberikan nama Mabesak group ini bernama Manyori yang berdiri pada tahun 1970-an. Anggota/personil dalam group ini diantaranya; Arnold Clemens Ap, Sam Kapissa, Yowel Kafiar, Marthinny Sawaki.

Seperti mottonya, ‘kita bernyanyi untuk hidup yang dulu, sekarang dan nanti’ Mambesak hendak mengatakan nyanyiannya adalah perawat kehidupan orang Papua. Memertahankan budaya lokal menjadi ide dasar Mambesak dengan mengangkat kesenian rakyat yang berakar pada lagu serta tari-tarian yang melekat pada masyarakat Papua. Berangkat dari itu, mereka kemudian terus menggali lagu dan tarian dari seluruh pelosok Papua dengan menampilkan lagu serta tari-tarian tersebut dengan peralatan, Ukulele, Bass, Tifa dan Gitar. Dalam setiap penampilannya, Mambesak menyanyikan lagu-lagu daerah dan menari, tak ketinggalan, mambesak juga menciptakan lagu-lagu dalam bahasa Indonesia berlogat Papua, dimana lagu-lagu tersebut adalah menguraikan tentang unsur-unsur kebudayaan Papua.

Tentunya, Arnold C. Ap sebagai inisiator dalam pembentukan group ini, Ia menggunakan kapasitasnya sebagai ketua Lembaga Antropologi dan kepala museum yang diberi nama Sansakerta, Loka Budaya dan mendirikan sebuah kelompok seni-budaya yang mereka namakan "Mambesak”. Gerakan kebangkitan Seni dan Budayan Papua Barat yang di pelopori oleh Arnol Ap, Sam kapisa dan kawan-kawan mahasiswa uncen lainnya di Jayapura ini lahir pada tahun 1972. Mereka menjadikan gereja-geraja sebagai awal membangun gerakan tersebut hingga terakhir di RRI nusantara V Jayapura.

Gerakan ini tumbuh dan berkembang, kemudian pada tanggal 15 Agustus 1978 menjadikan hari jadi Mambesak. Musik ini oleh Sam Kapisa dan Arnold Ap mengganggap sebagai musik yang suci sehingga mereka menamainya Mambesak yang menurut orang Biak adalah burung suci, dengan tujuan untuk menghibur hati masyarakat Papua yang sedang di intimidasi, dianiaya, diperkosa dan dibinasakan. Musik-musik mambesak memberikan kekuatan perlawanan rakyat Papua dan mengembalikan jadi diri sebagai komunitas yang beda dari bangsa Indonesia.

Namun Mambesak sebagai gerakan kebudayaan yang ingin menyelamatkan serta melestarikan seni, budaya penduduk Irian (sekarang Papua), ternyata dipandang sebagai bahaya "laten" oleh aparat keamanan karena membangkitkan semangat nasionalisme Papua.

Pada akhirnya, tanggal 30 November 1983, Arnold Ap ditahan oleh militer Indonesia. Sebelum dan sesudahnya, sekitar 20 orang Papua yang umumnya terdiri atas cendekiawan, dosen, serta, mahasiswa Uncen dan pegawai Kantor Gubernur Irian Jaya di Jayapura ditahan dan diselidiki karena oleh pihak aparat keamanan diindikasikan adanya aspirasi politik dalam kaitan dengan OPM.                                                                                                   

Penahanan tokoh budayawan Irian Jaya ini berbuntut "hijrahnya" sejumlah dosen, mahasiswa, maupun pegawai Pemda menyeberang perbatasan menuju negara tetangga PNG, pada bulan Februari1984. Hampir pada waktu yang sama, di Jakarta empat pemuda Papua yang mempertanyakan nasib penahanan Arnold AP ke DPRRI, akhirnya terpaksa meminta suaka politik ke kedutaan besar Belanda.

Penahanan tersebut dilakukan karena dicurigai oleh Pemerintah Indonesia sebagai “gerakan politik” yang hendak membangkitkan nasionalisme Papua untuk melepaskan diri dari kekuasaan NKRI. Arnold Ap sendiri dituduh sebagai “OPM kota” yang ikut berpartisipasi dalam perjuangan kemerdekaan Papua. Karena kecurigaan tersebut, akhirnya Arnold Ap dibunuh oleh Kopassandha (kini Kopassus) dan mayatnya ditemukan pada tanggal 26 April 1984 di Pantai Base G, Jayapura, setelah sebelumnya ditahan sejak bulan November 1983 tanpa proses hukum yang semestinya. Pembunuhannya diatur dengan skenario “melarikan diri” setelah sebelumnya secara sengaja dibebaskan oleh Kopassandha dari dalam tahanan. Arnold Ap yang hendak menyeberang ke Papua New Guinea menyusul istri dan anaknya yang telah mengungsi sebelumnya justru ditembak mati. Selain Arnold Ap, rekannya, Eduard Mofu, juga dibunuh dan ditemukan terapung di permukaan air laut Pantai Base G dengan luka tembak di dada dan perutnya.

Kematian sang budayawan, yang dianggap berhasil mengakumulasikan dan mengintegrasikan kebudayaan masyarakat Irian Jaya, dijadikan "simbol" pengukuhan terhadap identitas dan jati diri orang Papua, yang merupakan cikal bakal tumbuhnya rasa nasionalisme Orang Papua.

Selama perjalanan Mambesak, sejak dibentuk pada tahun 1972 hingga 1984, mereka berhasil meluncurkan lima kaset masing-masing; Volume I pada tahun 1978, Volume II 1980, Volume III 1980, Volume IV 1982 serta Volume V tahun 1983.

Situasi Rakyat Pada Masa Kejayaan Mambesak
Lagu-lagu dan tari-tarian daerah yang dikembangkan Mambesak kaya dengan keragamannya karena semua anggotanya mahasiswa Universitas Cenderawsih. Ada juga beberapa PNS diluar kampus yang punya bakat seni bersatu dengan mahasiswa. Waktu liburan, kalau ada mahasiswa yang pulang ke daerah, terutama anggota Mambesak, pulang wajib bawa lagu, kemudian diaransemen di Loka Budaya Uncen.
Selain itu, masyarakat yang mendengar musik Mambesak  langsung mengirim lagu-lagu dari daerah ke Mambesak. Ada yang direkam di kaset, ada yang ditulis tangan lengkap dengan not-notnya, dibawa dan dilatih di Istana Mambesak di Uncen. Sehingga Mambesak tidak pernah kekurangan lagu-lagu dari setiap suku daerah di Papua.

Selain Mambesak, ada kelompok musik lain, seperti Yaromba Apuse, Mansayori, Kamasan, Yance Rumbino dan kelompoknya di Nabire juga dengan musik akustiknya serta beberapa kelompok musik lain, tapi tidak dilanjutkan, karena trauma dengan pembunuhan personil Mambesak. Buntutnya, tidak ada pengembangan lagu-lagu daerah Papua, sehingga hanya terhenti di Mambesak. Dan tidak ada lagi yang melanjutkan atau mengembangkannya. Beberapa group music baru muncul saat memasuki tahun 1990-an dengan menyanyikan lagu-lagu Papua untuk Yosim Pancar yang dibawakan dalam perlombaan, tapi belum ada kelompok atau group music yang menyanyi khusus lagu-lagu Papua seperti Mambesak.

Kehadiran Mambesak disambut antusias oleh masyarakat Papua membayangkan identitas bangsa Papua sebagai ras Melanesia. Kebangkitan budaya Papua yang lama terpendam muncul kembali pada tahun 1970-1980 ketika group music Mambesak hadir ke tengah masyarakat dan begitu tenar di Papua. Lima volume kaset yang berisi reproduksi kembali. Hal itu didukung pula dengan siaran pelangi Budaya dan pancaran sastra yang diasuh oleh Arnold Ap dkk dari Mambesak di studio V RRI Jayapura setiap hari Minggu siang sangat populer.

Sebagai seorang seniman yang sedang berusaha sedang genggam suku-suku di Papua dalam Mambesak, Ia menyadari bahwa dalam hal mengarransement lagu mesti disesuaikan dengan adat dan budaya setempat. Tak heran, hal itulah mendorong masyarakat Papua hingga kini menganggap putra asala Biak ini sebagai seorang Martir.

Semangat Mambesak dalam Menumbuhkan Nasionalisme Papua Barat
Gerakan Mambesak memberikan ispirasi yang kuat dan membangkitan nasionalisme bangsa Papua, sehingga perlawananpun semakin lama mulai menguat di daerah-derah Papua lainnya. Namun sayang, karena oleh pemerintah Indonesia menganggapnya gerakan ini sangat berbahay sehingga mereka menangkap Arnol Ap dan membunuhnya tanpa alasan politik dan keamanan yang jelas terhadap kesalahan yang di Lakukan oleh Al arnol Ap. Gerakan ini melahirkan protes besar-besar bangsa Papua atas kehadiran Indonesia, dengan melakukan Suaka politik dan pengungsian besar-besaran.

Mambesak juga melalui musik dan lagu-lagu khas Papuanya melakukan perlawanan atas ketidakadilan. Adanya fakta sebagai satu kesatuan orang asli Papua dari ras Melanesia yang saat itu tertindas dalam pelanggaran hak asasi manusia dan adanya keinginan untuk menyatukan orang asli Papua sebagai satu bangsa untuk lepas dari penjajahan menjadi alasan yang tidak dapat dilepaskan dari kemunculan Mambesak. Dimana “nasionalisme” Papua yang dibangun saat itu disalah mengerti oleh pemerintah Indonesia seakan-akan dibangun semata-mata untuk kepentingan “Papua merdeka”, padahal penyatuan Papua sebagai satu bangsa dalam negara Indonesia sejatinya bukan hal yang tabu dari persfektif fakta ras, kebudayaan, dan kemanusiaan (karena memang negara ini dibangun di atas fakta keberagamaan ras, suku, bangsa, dan agama).

Gugatan terhadap kolonialisme yang diwujudkan dalam bentuk perbudayakan dan pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk lainnya dan gugatan terhadap “kemapanan yang menindas” oleh oleh rakyat Papua melalui Mambesak dilakukan dengan cara bermain musik dan bernyanyi. Para personil Mambesak bersuara melalui musik dan lagu khas Papua. Melalui musik dan syair lagu-lagunya, Mambesak mengungkapkan segala rasanya, dimana yang mencolok adalah pemuliaan terhadap Tuhan, pemujaan terhadap alam semesta (negerinya), kekaguman dan penghormatan terhadap indentitas dirinya dan bangsanya, gugatan terhadap kolonialisme (dan rasisme), dan cita-cita yang hendak diraih di masa depan.

Nilai-nilai dalam Semangat Mambesak
Sejak kemunculan Mambesak, kata “merdeka” kembali muncul dalam otak setiap manusia Papua, walaupun sebelumnya seringkali dilupakan. Saat mendengarkan lagu Mambesak, tentu saja orang yang lebih tua mengatakan bahwa “itu lagu merdeka” sungguh ampuh. Kata itu menjadi “ajaran” luhur yang tertanam kuat dalam lubuk hati setiap orang Papua. Mendengar musik dan lagu Mambesak berarti mendengar lagu merdeka. Dalam kekuasaan ajaran merdeka, kita yang menjadi bagian dari orang Papua pun tak henti-hentinya mencari esensi kata itu. Kadangkala kita merasa bingung dengan kata itu, sebab “merdeka” itu apakah penting, apakah sesuatu yang akan datang dengan sendiri, apakah sesuatu yang akan diberikan, atau apakah sesuatu yang akan direbut.

Tentunya hal ini adalah corong dari “korban” virus Mambesak dan ajaran merdeka. Virus Mambesak dan ajaran merdeka sudah mewabah kemana-mana di seluruh pelosok Tanah Papua, sudah menjangkiti hampir semua orang asli Papua, bahkan mereka yang bukan non-asli Papua. Ini merupakan sebuah fakta yang sulit ditolak. Mambesak benar-benar menemukan kenyamanan di dalam lubuk hati setiap orang asli Papua, ibarat benih unggul yang menemukan tanah yang subur. Dari sana kerinduan akan Mambesak tumbuh dengan subur, menjulang tinggi, menemukan cita dan cinta yang semestinya. Cita dan cinta itu adalah kemerdekaan; dimana setiap oran asli Papua dapat hidup dengan kaki kokoh dan kepala tegak di negeri leluhurnya. Mambesak adalah “kawan perjalanan dalam siara kehidupan menuju puncak kemerdekaan”. Dalam semangat dan posisi seperti ini, virus Mambesak dan ajaran merdeka menjadi dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Mambesak tak penting tanpa merdeka, dan merdeka pun tak penting tanpa Mambesak.

Mambesak mempunyai ribuan penggemar yang fanatik di Papua, terutama orang asli Papua. Hal ini dapat dilihat dari adanya upaya dari sejumlah pihak untuk membangkitkan kembali Mambesak, adanya kegemaran sejumlah orang asli Papua untuk mendengarkan lagu-lagu Mambesak, adanya sejumlah aksesoris (terutama pakaian) yang disablon dengan foto Arnlod Ap, dan adanya sejumlah tulisan yeng bertemakan Mambesak dan Arnold Ap yang ditulis oleh sejumlah orang.

Jika melihat perbandingan antara Rastafari dan Bob Marley dengan Mambesak dan Arnold Ap, maka terdapat tujuh kesamaan yang mencolok. Hal semacam ini bukanlah sebuah kebetulan, sebab hal semacam ini sesungguhnya merupakan fenomena global. Banyak gerakan sosial (politik/keagamaan) dan banyak musik dan lagu lahir sebagai wujud perlawanan terhadap penjajahan (atau sebut saja “kemapanan yang menindas”) dan untuk menemukan dan menegakkan jati diri sebagai manusia yang merdeka. Pilihan perjuangan dengan cara seperti ini juga pernah dilakukan oleh group musik, musisi dan penyanyi lain seperti John Lennon, Lucky Dube, Black Brothers, dan banyak group music lainnya.

Dengan demikian, sesungguhnya latarbelakang lahirnya Mambesak, dinamika dalam perjalanan Mambesak, dampak dari adanya Mambesak, dan tujuan akhir dari Mambesak sesungguhnya sama atau serupa dengan gerakan sosial (politik/keagamaan), musik, dan lagu yang pernah dan sedang bermunculan di berbagai belahan dunia lainnya. Yang pada umumnya inti dari gerakan sosial (politik/keagamaan) seperti ini adalah karena hendak menemukan dan menegakkan jati dirinya sebagai manusia yang sesungguhnya.

Seni menurut Bhikkhu Dhammasubho Mahathera, adalah “Sentuhan Nurani”. Untuk itulah seni menjadi ukuran suatu bangsa manusia. Semakin halus nuraninya, semakin tinggi karya-karya nuraninya. (#MC2)

Referensi:
1.    Yakobus O. Dumupa (2014) “MAMBESAK: Ungkapan Perasaan Bangsa Papua” Odiyaiwuu.com
2.    I Ngurah Suryawan (2011) “Ukulele Mambesak Membayangkan Identitas Budaya Papua 1970-1980-an” Etnohistori.org
3.    Bernard Agapa (2010) “Arnold Clemens Ap” Lovepapua.com
4.    Max Binur, (2005) “Menari dan Menarikkan Airk Mata Papua” Prakarsa Rakyat, inisiatif perlawanan local Simpul Kepala Burung Papua Periode Juli-September 2005.


NB: Materi ini dibawakan saat seminar dalam memperingati 43 tahun Mambesak, di Asrama Papua, Yogyakarta, 14 Agustus 2015




Kupercaya Ada Saatnya untuk Kami, Tuhan!


Ilustrasi/Ist
Tuhan...
Gelora hati terus memaksa
Ia hadir bagai duri yang terus menusuk
Memenjarakanku pada belenggu yang sungguh memuakan
Bagai sekeping batu yang sepertinya ingin ku pecahkan

Tuhan….
Aku paham, dalam sepuluh amanat-Mu
Pada nomor yang kesepuluh
Dengan tegas kau tuliskan
Jangan mengingini kepunyaan orang lain
Aku paham itu.

Jujur….
Aku iri melihat bendera mereka dipasang di setiap lorong jalan
Tampaknya, mereka semangat untuk menyambut HUT mereka
Terkadang imajiku liar,tak tenang
Tatkala melihat sang merah putih dikibar
Otakku diincar beraneka pertanyaan
Bendera mereka boleh dikibar
Kenapa 3 warna milikku dibatasi, bahkan dilarang berkibar?

Kuingin bertanya, Tuhan
Sudah dipelupuk mata kan?
Tuk nyatakan nubuat-Mu
Karena Engkau tak apatis terhadap kami
Selayaknya para pemimpin kami di dunia
Kami tetap menunggu
Menantikan "Bintang Kejora" dengan gagahnya berkibar di langit biru

Karya: Degei Hok Gie 

Senin, 10 Agustus 2015

Tulus


Ilustrai/Ist.

Langit biru...
Ijinkan aku singgah
Akan aku pahat sebuah nama
Mengukirnya dengan tinta emas
Menaburkannya penuh kasih sayang
Menghiasi pelangi yang takan pernah pudar

Walau rapuh dipersimpangan
Ketulusan meluluhkan rasa yang memilukan
Indah…..

Saat kegelapan menutupi jagat raya
Ketika jiwa berpetualang lepas
Bersama bulir-bulir mimpi tersisa
Terjaga raga dari sepenggal kisah

Salahkah hati punya rasa
Merasuk jiwa penuh makna
Mengukir lembaran sanubari begitu indah

Jika cinta tak butuh logika
Mungkin naluri hati yang bicara

Maco Alba

Minggu, 09 Agustus 2015

Sang Pedanda Baka, Sebuah Cerita Tentang Kepalsuan


Ilustrasi Bangau/Ist.
“Dia dataaang!”

Teriak si Kodok Hijau pada ikan-ikan yang sedang berlalu lalang di telaga dengan penuh ketakutan kemudian melompat ke atas daun teratai untuk mencari tempat persembunyiannya.

Ikan-ikan itu pun ikut berlari, mereka menjadi panic, berenang ke sana-sini untuk menemukan tempat persembunyian paling aman. Semua berlari dengan penuh teriakan, tangisan dan kekawatiran yang mencekik sampai keahlian berenangnya pun berkurang.

Di angkasa tampak seekor burung terbang memutar mengitari telaga. Tidak jelas burung apa itu, sebab cahaya sang surya mengaburkan wujud aslinya dan hanya menyisakan bayangan. Perlahan, burung itu turun, lalu menginjakkan kakinya di penggir telaga.

Kepalanya memakai ketu, bulunya putih bersih laksana jubah seorang pendeta agung. Jalannya anggun, tenang dan penuh wibawa. Di atas batu pinggiran telaga kemudian dia duduk bersila, memejamkan matanya, lalu Nampak masuk dalam kedalaman meditasinya.

Si kodok hijau yang sedari tadi  bersembunyi di atas daun teratai, menutupi dirinya dengan keindahan bunga, merasa heran memandangi burung bangau itu.

“Nampaknya burung bangau itu bukan burung bangau biasa” Pikir si kodok, “di lebih Nampak sebagai seorang pendeta”

Dengan kaki gemetaran, dengan mengabaikan sisa takutan yang memberatkan langkahnya, lalua di mulai menyingkap bunga teratai yang menyembunyikan tubuhnya. Rasa ingin tahu dan rasa penasarannya pada Bangau berjubah pendeta itu ternyata telah mengalahkan rasa takutnya.

Sementara di bawah telaga, diantara pojokan batu, diantara rerumputan bawah air, para ikan masih sembunyi. Mereka berusaha setenang mungkin, berusaha tidak ada suara pun yang keluar sehingga bisa mengesankan kalau telaga itu sunyi sepi tanpa penghuni.

Anak-anak ikan didekap oleh ibunya, agar mereka tidak menangis. Keluarga ikan ditenangkan oleh pria-prianya yang meski pun juga dilanda berbagai kengerian, namun tetap berusaha menjalankan tanggung jawab kepriaannya.

“Tenanglah, kita akan baik-baik saja” Kata seekor ikan emas menenangkan istrinya, sambil pula kata-kata itu dia ucapkan pada dirinya sendiri, untuk menenangkan dirinya sendiri.

Sementara seekor ikan buruk rupa sedang berusaha menenangkan bayi ikannya yang meringis kesakitan karena saat mereka berlari mencari persembunyian dia menabrak batu tajam.

“Ayo tenangkan anakmu!” Teriak suami si ikan buruk rupa itu, seolah anak yang sedang ketakutan itu bukanlah darah dagingnya, “Atau kita semua akan dimakan bangau itu!”

Sementara si anak tetap meringis, si ibu menenangkannya dengan suara lebut yang bergetar karena bercampur ketakutan.

Di atas telaga, sang katak hijau kemudian, dengan keringat dingin, dengan tetap menjaga jarak menyapa sang Burung Bangau itu,

“Si..siapakah anda, wahai bangau” Tanya katak hijau dengan suara yang dengan susah payah dikeluarkannya.
Burung berketu deng berhiaskan berbagai genitri itu kemudian perlahan, dengan tenang, sambil tersenyum membuka matanya.

“Aku?” Suara bangau itu begitu berbeda, begitu mendamaikan, begitu menenangkan. “Aku adalah sahabatmu”

Si katak hijau semakin tenang karena pembawaan tenang sang bangau. Apa lagi setelah mendengar kata-katanya, dia menjadi semakin nyaman untuk melontarkan pertanyaan berikutnya.

“Apakah kau datang untuk memangsa kami, para penghuni telaga?” Kata si katak hijau sambil berharap bangau itu akan menjawab dengan kata, “tidak”.

“Anakku,” Sapa Bangau Pendeta itu selayaknya seorang kakek yang penuh kasih sayang menyapa cucu tercintanya, “Aku tau kalian telah hidup dalam ketakutan begitu lama di telaga ini.

“Aku tau, banyak dari kalian yang telah kehilangan anak, istri, dan karabat yang satu persatu dimangsa burung-burung bangau kejam di sekitaran telaga ini.

“Tapi, aku bukanlah bangau pemangsa.
“Jika aku memang berniat memangsamu, bukankah kau bahkan tidak akan punya kesempatan bertanya padaku?”

Si katak mulai makin tenang, gemetaran di tubuhnya berkurang, nafasnya menjadi makin ringan, dan dia mulai memberanikan diri untuk semakin mendekati sang bangau.

“Lihat,” Kata Sang Pendeta dengan senyuman penuh pujian, “Dalam hatimu kau tau kalau aku tidak ada di sini untuk memangsa kalian, karena itu kakimu melangkah makin dekat padaku, karena itu ada keberanian yang menyala di hatimu untuk mendekatiku.”

Pernyataan itu, membuat si katak hijau semakin nyaman.

“Lalu,” katak hijau mulai berbicara dengan tenang, “untuk apakah anda di sini, kalau bukan untuk mencari mangsa?”
“Anakku,” Sapa hangat sang Pendeta Bangau,”aku tau hatimu sangat baik, karena itu hatimu yang baik itu menuntunmu untuk menemukan kebaikan dan menyapaku.

“Dan, aku di sini untuk mewujudkan kebaikan yang diharapkan hatimu itu”
Sementara si katak hijau dan sang Pendeta Bangau sedang bercengkrama, ternyata getaran rasa aman si katak hijau itu ikut dirasakan ikan-ikan dan penghuni telaga lain yang sedang bersembunyi di bawah air.

“Sepertinya, itu bukan bangau pemangsa” Bisik seekor ikan pada ikan lainnya.
“Iya,”sahut ikan tadi dengan suara yang sangat diupayakannya tidak terdengar lebih dari jarak antara dia dan sahabatnya itu.

Sebagaimana mereka berdua, ikan-ikan lain pun telah bergeser dari takut jadi penasaran, Biasanya seekor bangau akan datang mengobrak-abrik seisi telaga yang bisa dijangkaunya, untuk mencari ikan-ikan yang bisa dimangsanya. Tapi, bangau satu ini nampaknya sangat berbudi, tidak seperti bangau-bangau yang datang sebelumnya.

“Aku tau penghuni telaga ini adalah mahluk baik yang selayaknya hidup bebas dan bahagia, tanpa dihantui terror akan pemangsa apa pun. Dan, ijinkan aku mengajarkan caranya pada kalian”

Kata Sang Pendeta Bangau pada Katak Hijau, sambil melirik ke telaga berharap ikan-ikan yang menjawabnya.

Girang kehidupannya akan segera berubah, senang ketakutannya akan segera musnah, kemudian si katak hijau berteriak lantang,

“Keluarlah, beliau benar-benar baik!”

Satu per satu, ikan-ikan yang tadinya bersembunyi itu menunjukkan kepalanya ke permukaan, antara takut, penasaran dan keinginan kuat untuk meyakini kalau benar-benar ada sosok penyelamat di telaga mereka.

Dilihatnya Sang Bangau itu berpenampilan layaknya pendeta, duduk bersila layaknya sedang bertapa, dan tersenyum ramah layaknya seorang maharaja bijaksana. Mereka pun merasa nyaman dan tenang dengan pemandangan yang ditangkapkan matanya untuk mereka.

“Belia adalah pendeta,”Seekor ikan berbisik diikuti ikan-ikan lain yang mulai saling meyakinkan kalau pendeta itu adalah sosok penyelamat yang mereka butuhkan.

“Anak-anakku” Kata sang Pendeta Bangau dengan nada nan lembut yang belum pernah didengarkan para ikan itu dari bangsa pemangsa,
“Kalian takut padaku karena kalian ingin menyelamatkan diri dan keluarga yang kalian cintai, dan itu membuatku senang karena itu artinya kalian adalah mahluk-mahluk penyayang.

“Namun bukan aku yang perlu kalian takuti, karena aku justru datang untuk membantu kalian untuk menciptakan keselamatan bagi semua yang kalian kasihi dan penghuni telaga ini.
“Mendekatlah padaku,” Sambil ia berdiri dengan anggun mengambil tetekennya.
“Benar” si katak hujau menimpali, “jika beliau memang mau memangsa, aku pasti sudah mati dari tadi”

Satu per satu ikan-ikan itu mendekat, dan mereka benar-benar merasa aman karena bahkan setelah mereka ada dalam jarak yang cukup untuk sang pendeta bangau menerkamnya, mereka masih baik-baik saja.

Setelah beberapa lama, Sang Pendeta menceritakan banyak kisah, menuturkan banyak kebijaksanaan, mengutipkan banyak isi lontar, bermain dengan anak-anak, menyapa para penguhi telaga. Rupanya para penghuni telaga itu telah menerima sang bangau sebagai suryanya.


Berita tentang Sang Pendeta Bangu telah tersebar ke seluruh antero telaga, semua saling membericarakan rasa penasaran dan rasa ingin tahunya dengan nada seolah-olah mereka sudah tahu siapa pendeta bangau itu. 
Semua berbicara tentang kehidupan baru yang akan segera mereka songsong karena kini ada Sang Pendanda yang akan memberi sinar untuk gelapnya kehidupan mereka yang penuh terror dan ketakutan.

Katak Hijau dan ikan-ikan yang sempat menerima ajaran suci sang pendeta menjadi pengkabar, dan bahkan mereka yang tidak tapun mulaibergosip seolah mereka lah yang paling tahu siapa pendeta suci yang mengunjungi telaga mereka itu.

Suasana telaga benar-benar telah berubah, mereka mendapat gairah dan harapan, dan itu membuat kehidupan di telaga berjalan dengan nuansa yang sangat berbeda.


Hari itu, ikan-ikan yang sedang asik bercengkrama dan beraktifitas seperti biasa tiba-tiba tercengang. Mereka melihat sosok di kejauhan berlari mendekati telaga, tidak jelas siapa, tapi dari bayangan sepintasnya, itu adalah seekor bangau.

Tidak lagi berpikir panjang, didorong naluri untuk bertahan hidup, mereka kocar kacir berlari menyelamatkan diri.
 
Untunglah, sang katak hijau mengenalinya, mengenali idolanya. Sang Pendeta.

“Tenang, tenang” Teriak katak itu, “Itu adalah Ratu Pedanda

Kali ini Bangau Pendeta itu datang tergopoh-gopoh, tidak seperti awal kedatangannya.

“Berkumpullah di sini anak-anakku” Katanya dengan nafas tersengal-sengal ”Aku punya berita buruk untuk kalian”

Setelah beberapa saat, dibantu sang katak hijau, kemudian penghuni telaga itu berkumpul di hadapan sang pendeta, terheran-heran karena pasti ada hal yang sangat penting.

“Ini adalah kabar buruk” Sang Pendeta mulai berkata, “Bahkan untuk menyampaikannya pada kalian pun hatiku sudah sakit”

Suara bergemuruh mulai terdengar, satu dengan yang lain mulai saling bertanya ada apa gerangan.

“Petani desa pemilik ladang ini,” Kata sang pendeta dengan suara gemetaran setengah sedih setengah marah, “Akan mengeringkan telaga kalian dan merubahnya menjadi sawah!”

Kekagetan dan kompak terdengar.
Telaga tempat mereka hidup dari satu generasi ke generasi akan dikeringkan, “Kita akan hidup dimana?” Kata seekor ikan.

“Tanpa telaga kita semua akan mati” Seekor kepiting menimpali.
“tenang… tenang… biarkan beliau melanjutkan dulu” Perintah si katak hijau.
“Hari ini juga” Kata sang bangau, “persiapkan diri kalian.
“Aku akan mengungsikan kalian pergi.
“Di balik bukit itu, di dekat pertapaanku ada sebuah telaga yang jernih dan luas, aku akan membawa kalian ke sana”

Kembali kerumunan ikan-ikan itu berbisik satu denan yang lain.

“Dan yang lebih penting” Lanjut sang pendeta, “Tidak pernah ada bangau yang datang ke sana.
“Inilah saatnya kalian menyongsong kehidupan baru”

“Tapi tentu saja kalian bebas memilih” lanjut sang pendeta lagi, “bergegas pergi atau diamlah di sini dan tunggu kematian menjemput kalian”
Mereka ragu. Mereka takut. Tapi mereka tidak punya pilihan.

“Tunggu apa lagi?” Kata si katak hijau, “Bergegaslah!”


Sekelompok ikan ditaruh diantara paruh sang pendeta bangau, lalu diterbangkannya dari telaga itu, beberapa ditempatkannya di mulut agar lebih banyak yang terangkut.

Tidak sedikit jumlah ikan di telaga itu, jadi tidak cukup sehari waktu yang dibutuhkan untuk mengangkut mereka.

“Kamu pergilah dulu” Kata seekor ibu ikan pada anaknya, karena sudah penuh daya angkut sang pendeta. Si anakpun dicengkeram dan dilarikan dengan tangisan karena berpisah dari ibunya.

Ikan yang masih tersisa menunggu dengan ketegangan. Petani desa itu bisa datang kapan saja, dan mereka bisa mati kapan saja, sementara hanya sang bangau yang bisa mereka harapkan untuk menyelamatkan jiwanya.

Si katak hijau, yang paling penakut diantara mereka, pergi paling awal, mengambil tempat di paruh bangau.
Mereka memang ketakutan, namun mereka juga senang, sebab telah dikirimkan pada mereka sosok penyelamat.


Hari ketiga, telaga itu sudah benar-benar sepi. Semua ikan dan penghuni telaga telah pergi dari sana, meninggalkan telaga yang menjadi rumah bagi begitu banyak keluarga penghuninya.

Tinggal seekor kepiting.

Kepiting itu yang dari awal membantu ikan-ikan untuk naik ke paruh bangau, menyelamatkan ikan-ikan iku terlebih dahulu. Dari penampakannya memang kelihatan kepiting itu baik budi, cerdas dan pemberani.

Di rela pergi paling belakang demi menolong ikan-ikan yang disiksa ketakutan. Bukan karena dia tidak puya rasa takut, tapi karena dia tidak membiarkan dirinya ditindas ketakutan.

Baginya, bukan bangau pemangsa atau petani desa yang menindas kehidupan mereka, tapi ketakutannya sendiri.

Toh, baginya, kematian adalah kepastian, jadi tidak dibiarkannya jiwa yang menjadi gairah kehidupannya mati terlalu dini karena rasa takut akan kematian itu sendiri.

“Mari, bergegaslah anakku” Sapa sang pendeta dengan wajah ramah seperti biasa setelah turun dari udara.
“Terimakasih, Ratu Pedanda” Kata kepiting, kemudian mendekat.

Betapa senangnya kepiting yang sedang terbang bersama pendeta bangau itu.
Kepiting terbang di atas bangau. Itu membuatnya tertawa dan bersyukur.

Dia menikmati hembusan angin yang bergulung-gulung dan menampar lembut kulitnya, pemandangan udara yang bisa ditangkap oleh matanya. Dia memang selalu tahu cara menikmati kehidupan.

Tapi….
Keceriaan wajahnya itu berubah saat ia mencapai daerah belakang bukit yang dijanjikan. Saat sang pendeta yang mempesona itu mulai turun dan merendahkan terbangnya.

Pemandangan yang dilihatnya benar-benar menyayat hati.

Tulang-tulang ikan. Kodok yang mati. Bangkai saudara-saudara setelaganya berserakan. Dia hampir tidak mempercayai matanya sendiri atas pemandangan yang disaksikannya itu.

Dia tahu tempat bangkai berserakan itu adalah kediaman sang pedanda. Dilihatnya tongkat sang pendeta dan beberapa genitrinya bergantungan di sana, diantara mayat-mayat ikan yang dibantunya naik ke paruh bangau itu.

“Kau…” Katanya dengan suara gemetaran, “Memakan mereka semua?”

Tersenyum licik, pendeta itu menjawab, “Kalian memang baru sadar setelah di ketinggian ini, kalian semua. Sadar saar sudah terlambat”

“Jadi, benar-benar kaulah yang membunuh mereka?” Kata si kepiting lagi berharap bukan pendeta yang telah dinobatkan sebagai juru selamat telagalah yang tega melakukan itu.

“Bukan anakku,”Sahut bangau itu dengan senyuman, “Bukan aku yang membunuh mereka, tapi diri mereka sendiri.

Ketakutan dan haparan merekalah yang membunuh mereka”

Seketika itu, kesedihan sang kepiting berubah menjadi amarah. Amarah yang tak terhingga.

Krekkkkk!!!

Dijepitnya leher bangau itu, sampai berteriak kesakitan, lalu mati setelah pontang panting mendarat diantara bangkai ikan yang dijadikannya makanan. Bangkai ikan-ikan yang berharap sosok penyelamat atas kehidupan mereka, bangkai ikan yang selalu dihantui ketakutan.

SELESAI
___________________________________________________________________________________
Footnote:
  1. Ketu: Mahkota yang biasa dipakai para pendeta
  2. Tetekan: Tongkat, biasanya para pendeta di Bali selalu membawa tongkat ini sebagai symbol penuntun dan pemberi jalan umat.
  3. Genitri: Tasbih yang dijadikan hiasan para pendeta dan digunakan untuk pemujaan.
  4. Ratu Pedanda: sebutan untuk pendeta di Bali

 

Copyright MC2 @ 2015 Jejak Kaki.

MC2 ,