Ilustrasi Bangau/Ist. |
“Dia dataaang!”
Teriak
si Kodok Hijau pada ikan-ikan yang sedang berlalu lalang di telaga
dengan penuh ketakutan kemudian melompat ke atas daun teratai untuk
mencari tempat persembunyiannya.
Ikan-ikan
itu pun ikut berlari, mereka menjadi panic, berenang ke sana-sini untuk
menemukan tempat persembunyian paling aman. Semua berlari dengan penuh
teriakan, tangisan dan kekawatiran yang mencekik sampai keahlian
berenangnya pun berkurang.
Di angkasa
tampak seekor burung terbang memutar mengitari telaga. Tidak jelas
burung apa itu, sebab cahaya sang surya mengaburkan wujud aslinya dan
hanya menyisakan bayangan. Perlahan, burung itu turun, lalu menginjakkan
kakinya di penggir telaga.
Kepalanya
memakai ketu, bulunya putih bersih laksana jubah seorang pendeta agung.
Jalannya anggun, tenang dan penuh wibawa. Di atas batu pinggiran telaga
kemudian dia duduk bersila, memejamkan matanya, lalu Nampak masuk dalam
kedalaman meditasinya.
Si kodok
hijau yang sedari tadi bersembunyi di atas daun teratai, menutupi
dirinya dengan keindahan bunga, merasa heran memandangi burung bangau
itu.
“Nampaknya burung bangau itu bukan burung bangau biasa” Pikir si kodok, “di lebih Nampak sebagai seorang pendeta”
Dengan
kaki gemetaran, dengan mengabaikan sisa takutan yang memberatkan
langkahnya, lalua di mulai menyingkap bunga teratai yang menyembunyikan
tubuhnya. Rasa ingin tahu dan rasa penasarannya pada Bangau berjubah
pendeta itu ternyata telah mengalahkan rasa takutnya.
Sementara
di bawah telaga, diantara pojokan batu, diantara rerumputan bawah air,
para ikan masih sembunyi. Mereka berusaha setenang mungkin, berusaha
tidak ada suara pun yang keluar sehingga bisa mengesankan kalau telaga
itu sunyi sepi tanpa penghuni.
Anak-anak
ikan didekap oleh ibunya, agar mereka tidak menangis. Keluarga ikan
ditenangkan oleh pria-prianya yang meski pun juga dilanda berbagai
kengerian, namun tetap berusaha menjalankan tanggung jawab kepriaannya.
“Tenanglah,
kita akan baik-baik saja” Kata seekor ikan emas menenangkan istrinya,
sambil pula kata-kata itu dia ucapkan pada dirinya sendiri, untuk
menenangkan dirinya sendiri.
Sementara
seekor ikan buruk rupa sedang berusaha menenangkan bayi ikannya yang
meringis kesakitan karena saat mereka berlari mencari persembunyian dia
menabrak batu tajam.
“Ayo tenangkan
anakmu!” Teriak suami si ikan buruk rupa itu, seolah anak yang sedang
ketakutan itu bukanlah darah dagingnya, “Atau kita semua akan dimakan
bangau itu!”
Sementara si anak tetap meringis, si ibu menenangkannya dengan suara lebut yang bergetar karena bercampur ketakutan.
Di atas telaga, sang katak hijau kemudian, dengan keringat dingin, dengan tetap menjaga jarak menyapa sang Burung Bangau itu,
“Si..siapakah anda, wahai bangau” Tanya katak hijau dengan suara yang dengan susah payah dikeluarkannya.
Burung berketu deng berhiaskan berbagai genitri itu kemudian perlahan, dengan tenang, sambil tersenyum membuka matanya.
“Aku?” Suara bangau itu begitu berbeda, begitu mendamaikan, begitu menenangkan. “Aku adalah sahabatmu”
Si
katak hijau semakin tenang karena pembawaan tenang sang bangau. Apa
lagi setelah mendengar kata-katanya, dia menjadi semakin nyaman untuk
melontarkan pertanyaan berikutnya.
“Apakah
kau datang untuk memangsa kami, para penghuni telaga?” Kata si katak
hijau sambil berharap bangau itu akan menjawab dengan kata, “tidak”.
“Anakku,”
Sapa Bangau Pendeta itu selayaknya seorang kakek yang penuh kasih
sayang menyapa cucu tercintanya, “Aku tau kalian telah hidup dalam
ketakutan begitu lama di telaga ini.
“Aku
tau, banyak dari kalian yang telah kehilangan anak, istri, dan karabat
yang satu persatu dimangsa burung-burung bangau kejam di sekitaran
telaga ini.
“Tapi, aku bukanlah bangau pemangsa.
“Jika aku memang berniat memangsamu, bukankah kau bahkan tidak akan punya kesempatan bertanya padaku?”
Si
katak mulai makin tenang, gemetaran di tubuhnya berkurang, nafasnya
menjadi makin ringan, dan dia mulai memberanikan diri untuk semakin
mendekati sang bangau.
“Lihat,” Kata
Sang Pendeta dengan senyuman penuh pujian, “Dalam hatimu kau tau kalau
aku tidak ada di sini untuk memangsa kalian, karena itu kakimu melangkah
makin dekat padaku, karena itu ada keberanian yang menyala di hatimu
untuk mendekatiku.”
Pernyataan itu, membuat si katak hijau semakin nyaman.
“Lalu,” katak hijau mulai berbicara dengan tenang, “untuk apakah anda di sini, kalau bukan untuk mencari mangsa?”
“Anakku,”
Sapa hangat sang Pendeta Bangau,”aku tau hatimu sangat baik, karena itu
hatimu yang baik itu menuntunmu untuk menemukan kebaikan dan menyapaku.
“Dan, aku di sini untuk mewujudkan kebaikan yang diharapkan hatimu itu”
Sementara
si katak hijau dan sang Pendeta Bangau sedang bercengkrama, ternyata
getaran rasa aman si katak hijau itu ikut dirasakan ikan-ikan dan
penghuni telaga lain yang sedang bersembunyi di bawah air.
“Sepertinya, itu bukan bangau pemangsa” Bisik seekor ikan pada ikan lainnya.
“Iya,”sahut ikan tadi dengan suara yang sangat diupayakannya tidak terdengar lebih dari jarak antara dia dan sahabatnya itu.
Sebagaimana
mereka berdua, ikan-ikan lain pun telah bergeser dari takut jadi
penasaran, Biasanya seekor bangau akan datang mengobrak-abrik seisi
telaga yang bisa dijangkaunya, untuk mencari ikan-ikan yang bisa
dimangsanya. Tapi, bangau satu ini nampaknya sangat berbudi, tidak
seperti bangau-bangau yang datang sebelumnya.
“Aku
tau penghuni telaga ini adalah mahluk baik yang selayaknya hidup bebas
dan bahagia, tanpa dihantui terror akan pemangsa apa pun. Dan, ijinkan
aku mengajarkan caranya pada kalian”
Kata Sang Pendeta Bangau pada Katak Hijau, sambil melirik ke telaga berharap ikan-ikan yang menjawabnya.
Girang kehidupannya akan segera berubah, senang ketakutannya akan segera musnah, kemudian si katak hijau berteriak lantang,
“Keluarlah, beliau benar-benar baik!”
Satu
per satu, ikan-ikan yang tadinya bersembunyi itu menunjukkan kepalanya
ke permukaan, antara takut, penasaran dan keinginan kuat untuk meyakini
kalau benar-benar ada sosok penyelamat di telaga mereka.
Dilihatnya
Sang Bangau itu berpenampilan layaknya pendeta, duduk bersila layaknya
sedang bertapa, dan tersenyum ramah layaknya seorang maharaja bijaksana.
Mereka pun merasa nyaman dan tenang dengan pemandangan yang
ditangkapkan matanya untuk mereka.
“Belia
adalah pendeta,”Seekor ikan berbisik diikuti ikan-ikan lain yang mulai
saling meyakinkan kalau pendeta itu adalah sosok penyelamat yang mereka
butuhkan.
“Anak-anakku” Kata sang Pendeta Bangau dengan nada nan lembut yang belum pernah didengarkan para ikan itu dari bangsa pemangsa,
“Kalian
takut padaku karena kalian ingin menyelamatkan diri dan keluarga yang
kalian cintai, dan itu membuatku senang karena itu artinya kalian adalah
mahluk-mahluk penyayang.
“Namun
bukan aku yang perlu kalian takuti, karena aku justru datang untuk
membantu kalian untuk menciptakan keselamatan bagi semua yang kalian
kasihi dan penghuni telaga ini.
“Mendekatlah padaku,” Sambil ia berdiri dengan anggun mengambil tetekennya.
“Benar” si katak hujau menimpali, “jika beliau memang mau memangsa, aku pasti sudah mati dari tadi”
Satu
per satu ikan-ikan itu mendekat, dan mereka benar-benar merasa aman
karena bahkan setelah mereka ada dalam jarak yang cukup untuk sang
pendeta bangau menerkamnya, mereka masih baik-baik saja.
Setelah
beberapa lama, Sang Pendeta menceritakan banyak kisah, menuturkan
banyak kebijaksanaan, mengutipkan banyak isi lontar, bermain dengan
anak-anak, menyapa para penguhi telaga. Rupanya para penghuni telaga itu
telah menerima sang bangau sebagai suryanya.
Berita
tentang Sang Pendeta Bangu telah tersebar ke seluruh antero telaga,
semua saling membericarakan rasa penasaran dan rasa ingin tahunya dengan
nada seolah-olah mereka sudah tahu siapa pendeta bangau itu.
Semua
berbicara tentang kehidupan baru yang akan segera mereka songsong karena
kini ada Sang Pendanda yang akan memberi sinar untuk gelapnya kehidupan
mereka yang penuh terror dan ketakutan.
Katak
Hijau dan ikan-ikan yang sempat menerima ajaran suci sang pendeta
menjadi pengkabar, dan bahkan mereka yang tidak tapun mulaibergosip
seolah mereka lah yang paling tahu siapa pendeta suci yang mengunjungi
telaga mereka itu.
Suasana telaga
benar-benar telah berubah, mereka mendapat gairah dan harapan, dan itu
membuat kehidupan di telaga berjalan dengan nuansa yang sangat berbeda.
Hari
itu, ikan-ikan yang sedang asik bercengkrama dan beraktifitas seperti
biasa tiba-tiba tercengang. Mereka melihat sosok di kejauhan berlari
mendekati telaga, tidak jelas siapa, tapi dari bayangan sepintasnya, itu
adalah seekor bangau.
Tidak lagi berpikir panjang, didorong naluri untuk bertahan hidup, mereka kocar kacir berlari menyelamatkan diri.
Untunglah, sang katak hijau mengenalinya, mengenali idolanya. Sang Pendeta.
“Tenang, tenang” Teriak katak itu, “Itu adalah Ratu Pedanda”
Kali ini Bangau Pendeta itu datang tergopoh-gopoh, tidak seperti awal kedatangannya.
“Berkumpullah di sini anak-anakku” Katanya dengan nafas tersengal-sengal ”Aku punya berita buruk untuk kalian”
Setelah
beberapa saat, dibantu sang katak hijau, kemudian penghuni telaga itu
berkumpul di hadapan sang pendeta, terheran-heran karena pasti ada hal
yang sangat penting.
“Ini adalah kabar buruk” Sang Pendeta mulai berkata, “Bahkan untuk menyampaikannya pada kalian pun hatiku sudah sakit”
Suara bergemuruh mulai terdengar, satu dengan yang lain mulai saling bertanya ada apa gerangan.
“Petani
desa pemilik ladang ini,” Kata sang pendeta dengan suara gemetaran
setengah sedih setengah marah, “Akan mengeringkan telaga kalian dan
merubahnya menjadi sawah!”
Kekagetan dan kompak terdengar.
Telaga tempat mereka hidup dari satu generasi ke generasi akan dikeringkan, “Kita akan hidup dimana?” Kata seekor ikan.
“Tanpa telaga kita semua akan mati” Seekor kepiting menimpali.
“tenang… tenang… biarkan beliau melanjutkan dulu” Perintah si katak hijau.
“Hari ini juga” Kata sang bangau, “persiapkan diri kalian.
“Aku akan mengungsikan kalian pergi.
“Di balik bukit itu, di dekat pertapaanku ada sebuah telaga yang jernih dan luas, aku akan membawa kalian ke sana”
Kembali kerumunan ikan-ikan itu berbisik satu denan yang lain.
“Dan yang lebih penting” Lanjut sang pendeta, “Tidak pernah ada bangau yang datang ke sana.
“Inilah saatnya kalian menyongsong kehidupan baru”
“Tapi
tentu saja kalian bebas memilih” lanjut sang pendeta lagi, “bergegas
pergi atau diamlah di sini dan tunggu kematian menjemput kalian”
Mereka ragu. Mereka takut. Tapi mereka tidak punya pilihan.
“Tunggu apa lagi?” Kata si katak hijau, “Bergegaslah!”
Sekelompok
ikan ditaruh diantara paruh sang pendeta bangau, lalu diterbangkannya
dari telaga itu, beberapa ditempatkannya di mulut agar lebih banyak yang
terangkut.
Tidak sedikit jumlah ikan di telaga itu, jadi tidak cukup sehari waktu yang dibutuhkan untuk mengangkut mereka.
“Kamu
pergilah dulu” Kata seekor ibu ikan pada anaknya, karena sudah penuh
daya angkut sang pendeta. Si anakpun dicengkeram dan dilarikan dengan
tangisan karena berpisah dari ibunya.
Ikan
yang masih tersisa menunggu dengan ketegangan. Petani desa itu bisa
datang kapan saja, dan mereka bisa mati kapan saja, sementara hanya sang
bangau yang bisa mereka harapkan untuk menyelamatkan jiwanya.
Si katak hijau, yang paling penakut diantara mereka, pergi paling awal, mengambil tempat di paruh bangau.
Mereka memang ketakutan, namun mereka juga senang, sebab telah dikirimkan pada mereka sosok penyelamat.
Hari
ketiga, telaga itu sudah benar-benar sepi. Semua ikan dan penghuni
telaga telah pergi dari sana, meninggalkan telaga yang menjadi rumah
bagi begitu banyak keluarga penghuninya.
Tinggal seekor kepiting.
Kepiting
itu yang dari awal membantu ikan-ikan untuk naik ke paruh bangau,
menyelamatkan ikan-ikan iku terlebih dahulu. Dari penampakannya memang
kelihatan kepiting itu baik budi, cerdas dan pemberani.
Di
rela pergi paling belakang demi menolong ikan-ikan yang disiksa
ketakutan. Bukan karena dia tidak puya rasa takut, tapi karena dia tidak
membiarkan dirinya ditindas ketakutan.
Baginya, bukan bangau pemangsa atau petani desa yang menindas kehidupan mereka, tapi ketakutannya sendiri.
Toh,
baginya, kematian adalah kepastian, jadi tidak dibiarkannya jiwa yang
menjadi gairah kehidupannya mati terlalu dini karena rasa takut akan
kematian itu sendiri.
“Mari, bergegaslah anakku” Sapa sang pendeta dengan wajah ramah seperti biasa setelah turun dari udara.
“Terimakasih, Ratu Pedanda” Kata kepiting, kemudian mendekat.
Betapa senangnya kepiting yang sedang terbang bersama pendeta bangau itu.
Kepiting terbang di atas bangau. Itu membuatnya tertawa dan bersyukur.
Dia
menikmati hembusan angin yang bergulung-gulung dan menampar lembut
kulitnya, pemandangan udara yang bisa ditangkap oleh matanya. Dia memang
selalu tahu cara menikmati kehidupan.
Tapi….
Keceriaan
wajahnya itu berubah saat ia mencapai daerah belakang bukit yang
dijanjikan. Saat sang pendeta yang mempesona itu mulai turun dan
merendahkan terbangnya.
Pemandangan yang dilihatnya benar-benar menyayat hati.
Tulang-tulang
ikan. Kodok yang mati. Bangkai saudara-saudara setelaganya berserakan.
Dia hampir tidak mempercayai matanya sendiri atas pemandangan yang
disaksikannya itu.
Dia tahu tempat
bangkai berserakan itu adalah kediaman sang pedanda. Dilihatnya tongkat
sang pendeta dan beberapa genitrinya bergantungan di sana, diantara
mayat-mayat ikan yang dibantunya naik ke paruh bangau itu.
“Kau…” Katanya dengan suara gemetaran, “Memakan mereka semua?”
Tersenyum
licik, pendeta itu menjawab, “Kalian memang baru sadar setelah di
ketinggian ini, kalian semua. Sadar saar sudah terlambat”
“Jadi,
benar-benar kaulah yang membunuh mereka?” Kata si kepiting lagi
berharap bukan pendeta yang telah dinobatkan sebagai juru selamat
telagalah yang tega melakukan itu.
“Bukan anakku,”Sahut bangau itu dengan senyuman, “Bukan aku yang membunuh mereka, tapi diri mereka sendiri.
Ketakutan dan haparan merekalah yang membunuh mereka”
Seketika itu, kesedihan sang kepiting berubah menjadi amarah. Amarah yang tak terhingga.
Krekkkkk!!!
Dijepitnya
leher bangau itu, sampai berteriak kesakitan, lalu mati setelah pontang
panting mendarat diantara bangkai ikan yang dijadikannya makanan.
Bangkai ikan-ikan yang berharap sosok penyelamat atas kehidupan mereka,
bangkai ikan yang selalu dihantui ketakutan.
SELESAI
Source: Web Putu Yidiyantara
___________________________________________________________________________________
Footnote:- Ketu: Mahkota yang biasa dipakai para pendeta
- Tetekan: Tongkat, biasanya para pendeta di Bali selalu membawa tongkat ini sebagai symbol penuntun dan pemberi jalan umat.
- Genitri: Tasbih yang dijadikan hiasan para pendeta dan digunakan untuk pemujaan.
- Ratu Pedanda: sebutan untuk pendeta di Bali
MR: MC2