Minggu, 09 Agustus 2015

Sang Pedanda Baka, Sebuah Cerita Tentang Kepalsuan


Ilustrasi Bangau/Ist.
“Dia dataaang!”

Teriak si Kodok Hijau pada ikan-ikan yang sedang berlalu lalang di telaga dengan penuh ketakutan kemudian melompat ke atas daun teratai untuk mencari tempat persembunyiannya.

Ikan-ikan itu pun ikut berlari, mereka menjadi panic, berenang ke sana-sini untuk menemukan tempat persembunyian paling aman. Semua berlari dengan penuh teriakan, tangisan dan kekawatiran yang mencekik sampai keahlian berenangnya pun berkurang.

Di angkasa tampak seekor burung terbang memutar mengitari telaga. Tidak jelas burung apa itu, sebab cahaya sang surya mengaburkan wujud aslinya dan hanya menyisakan bayangan. Perlahan, burung itu turun, lalu menginjakkan kakinya di penggir telaga.

Kepalanya memakai ketu, bulunya putih bersih laksana jubah seorang pendeta agung. Jalannya anggun, tenang dan penuh wibawa. Di atas batu pinggiran telaga kemudian dia duduk bersila, memejamkan matanya, lalu Nampak masuk dalam kedalaman meditasinya.

Si kodok hijau yang sedari tadi  bersembunyi di atas daun teratai, menutupi dirinya dengan keindahan bunga, merasa heran memandangi burung bangau itu.

“Nampaknya burung bangau itu bukan burung bangau biasa” Pikir si kodok, “di lebih Nampak sebagai seorang pendeta”

Dengan kaki gemetaran, dengan mengabaikan sisa takutan yang memberatkan langkahnya, lalua di mulai menyingkap bunga teratai yang menyembunyikan tubuhnya. Rasa ingin tahu dan rasa penasarannya pada Bangau berjubah pendeta itu ternyata telah mengalahkan rasa takutnya.

Sementara di bawah telaga, diantara pojokan batu, diantara rerumputan bawah air, para ikan masih sembunyi. Mereka berusaha setenang mungkin, berusaha tidak ada suara pun yang keluar sehingga bisa mengesankan kalau telaga itu sunyi sepi tanpa penghuni.

Anak-anak ikan didekap oleh ibunya, agar mereka tidak menangis. Keluarga ikan ditenangkan oleh pria-prianya yang meski pun juga dilanda berbagai kengerian, namun tetap berusaha menjalankan tanggung jawab kepriaannya.

“Tenanglah, kita akan baik-baik saja” Kata seekor ikan emas menenangkan istrinya, sambil pula kata-kata itu dia ucapkan pada dirinya sendiri, untuk menenangkan dirinya sendiri.

Sementara seekor ikan buruk rupa sedang berusaha menenangkan bayi ikannya yang meringis kesakitan karena saat mereka berlari mencari persembunyian dia menabrak batu tajam.

“Ayo tenangkan anakmu!” Teriak suami si ikan buruk rupa itu, seolah anak yang sedang ketakutan itu bukanlah darah dagingnya, “Atau kita semua akan dimakan bangau itu!”

Sementara si anak tetap meringis, si ibu menenangkannya dengan suara lebut yang bergetar karena bercampur ketakutan.

Di atas telaga, sang katak hijau kemudian, dengan keringat dingin, dengan tetap menjaga jarak menyapa sang Burung Bangau itu,

“Si..siapakah anda, wahai bangau” Tanya katak hijau dengan suara yang dengan susah payah dikeluarkannya.
Burung berketu deng berhiaskan berbagai genitri itu kemudian perlahan, dengan tenang, sambil tersenyum membuka matanya.

“Aku?” Suara bangau itu begitu berbeda, begitu mendamaikan, begitu menenangkan. “Aku adalah sahabatmu”

Si katak hijau semakin tenang karena pembawaan tenang sang bangau. Apa lagi setelah mendengar kata-katanya, dia menjadi semakin nyaman untuk melontarkan pertanyaan berikutnya.

“Apakah kau datang untuk memangsa kami, para penghuni telaga?” Kata si katak hijau sambil berharap bangau itu akan menjawab dengan kata, “tidak”.

“Anakku,” Sapa Bangau Pendeta itu selayaknya seorang kakek yang penuh kasih sayang menyapa cucu tercintanya, “Aku tau kalian telah hidup dalam ketakutan begitu lama di telaga ini.

“Aku tau, banyak dari kalian yang telah kehilangan anak, istri, dan karabat yang satu persatu dimangsa burung-burung bangau kejam di sekitaran telaga ini.

“Tapi, aku bukanlah bangau pemangsa.
“Jika aku memang berniat memangsamu, bukankah kau bahkan tidak akan punya kesempatan bertanya padaku?”

Si katak mulai makin tenang, gemetaran di tubuhnya berkurang, nafasnya menjadi makin ringan, dan dia mulai memberanikan diri untuk semakin mendekati sang bangau.

“Lihat,” Kata Sang Pendeta dengan senyuman penuh pujian, “Dalam hatimu kau tau kalau aku tidak ada di sini untuk memangsa kalian, karena itu kakimu melangkah makin dekat padaku, karena itu ada keberanian yang menyala di hatimu untuk mendekatiku.”

Pernyataan itu, membuat si katak hijau semakin nyaman.

“Lalu,” katak hijau mulai berbicara dengan tenang, “untuk apakah anda di sini, kalau bukan untuk mencari mangsa?”
“Anakku,” Sapa hangat sang Pendeta Bangau,”aku tau hatimu sangat baik, karena itu hatimu yang baik itu menuntunmu untuk menemukan kebaikan dan menyapaku.

“Dan, aku di sini untuk mewujudkan kebaikan yang diharapkan hatimu itu”
Sementara si katak hijau dan sang Pendeta Bangau sedang bercengkrama, ternyata getaran rasa aman si katak hijau itu ikut dirasakan ikan-ikan dan penghuni telaga lain yang sedang bersembunyi di bawah air.

“Sepertinya, itu bukan bangau pemangsa” Bisik seekor ikan pada ikan lainnya.
“Iya,”sahut ikan tadi dengan suara yang sangat diupayakannya tidak terdengar lebih dari jarak antara dia dan sahabatnya itu.

Sebagaimana mereka berdua, ikan-ikan lain pun telah bergeser dari takut jadi penasaran, Biasanya seekor bangau akan datang mengobrak-abrik seisi telaga yang bisa dijangkaunya, untuk mencari ikan-ikan yang bisa dimangsanya. Tapi, bangau satu ini nampaknya sangat berbudi, tidak seperti bangau-bangau yang datang sebelumnya.

“Aku tau penghuni telaga ini adalah mahluk baik yang selayaknya hidup bebas dan bahagia, tanpa dihantui terror akan pemangsa apa pun. Dan, ijinkan aku mengajarkan caranya pada kalian”

Kata Sang Pendeta Bangau pada Katak Hijau, sambil melirik ke telaga berharap ikan-ikan yang menjawabnya.

Girang kehidupannya akan segera berubah, senang ketakutannya akan segera musnah, kemudian si katak hijau berteriak lantang,

“Keluarlah, beliau benar-benar baik!”

Satu per satu, ikan-ikan yang tadinya bersembunyi itu menunjukkan kepalanya ke permukaan, antara takut, penasaran dan keinginan kuat untuk meyakini kalau benar-benar ada sosok penyelamat di telaga mereka.

Dilihatnya Sang Bangau itu berpenampilan layaknya pendeta, duduk bersila layaknya sedang bertapa, dan tersenyum ramah layaknya seorang maharaja bijaksana. Mereka pun merasa nyaman dan tenang dengan pemandangan yang ditangkapkan matanya untuk mereka.

“Belia adalah pendeta,”Seekor ikan berbisik diikuti ikan-ikan lain yang mulai saling meyakinkan kalau pendeta itu adalah sosok penyelamat yang mereka butuhkan.

“Anak-anakku” Kata sang Pendeta Bangau dengan nada nan lembut yang belum pernah didengarkan para ikan itu dari bangsa pemangsa,
“Kalian takut padaku karena kalian ingin menyelamatkan diri dan keluarga yang kalian cintai, dan itu membuatku senang karena itu artinya kalian adalah mahluk-mahluk penyayang.

“Namun bukan aku yang perlu kalian takuti, karena aku justru datang untuk membantu kalian untuk menciptakan keselamatan bagi semua yang kalian kasihi dan penghuni telaga ini.
“Mendekatlah padaku,” Sambil ia berdiri dengan anggun mengambil tetekennya.
“Benar” si katak hujau menimpali, “jika beliau memang mau memangsa, aku pasti sudah mati dari tadi”

Satu per satu ikan-ikan itu mendekat, dan mereka benar-benar merasa aman karena bahkan setelah mereka ada dalam jarak yang cukup untuk sang pendeta bangau menerkamnya, mereka masih baik-baik saja.

Setelah beberapa lama, Sang Pendeta menceritakan banyak kisah, menuturkan banyak kebijaksanaan, mengutipkan banyak isi lontar, bermain dengan anak-anak, menyapa para penguhi telaga. Rupanya para penghuni telaga itu telah menerima sang bangau sebagai suryanya.


Berita tentang Sang Pendeta Bangu telah tersebar ke seluruh antero telaga, semua saling membericarakan rasa penasaran dan rasa ingin tahunya dengan nada seolah-olah mereka sudah tahu siapa pendeta bangau itu. 
Semua berbicara tentang kehidupan baru yang akan segera mereka songsong karena kini ada Sang Pendanda yang akan memberi sinar untuk gelapnya kehidupan mereka yang penuh terror dan ketakutan.

Katak Hijau dan ikan-ikan yang sempat menerima ajaran suci sang pendeta menjadi pengkabar, dan bahkan mereka yang tidak tapun mulaibergosip seolah mereka lah yang paling tahu siapa pendeta suci yang mengunjungi telaga mereka itu.

Suasana telaga benar-benar telah berubah, mereka mendapat gairah dan harapan, dan itu membuat kehidupan di telaga berjalan dengan nuansa yang sangat berbeda.


Hari itu, ikan-ikan yang sedang asik bercengkrama dan beraktifitas seperti biasa tiba-tiba tercengang. Mereka melihat sosok di kejauhan berlari mendekati telaga, tidak jelas siapa, tapi dari bayangan sepintasnya, itu adalah seekor bangau.

Tidak lagi berpikir panjang, didorong naluri untuk bertahan hidup, mereka kocar kacir berlari menyelamatkan diri.
 
Untunglah, sang katak hijau mengenalinya, mengenali idolanya. Sang Pendeta.

“Tenang, tenang” Teriak katak itu, “Itu adalah Ratu Pedanda

Kali ini Bangau Pendeta itu datang tergopoh-gopoh, tidak seperti awal kedatangannya.

“Berkumpullah di sini anak-anakku” Katanya dengan nafas tersengal-sengal ”Aku punya berita buruk untuk kalian”

Setelah beberapa saat, dibantu sang katak hijau, kemudian penghuni telaga itu berkumpul di hadapan sang pendeta, terheran-heran karena pasti ada hal yang sangat penting.

“Ini adalah kabar buruk” Sang Pendeta mulai berkata, “Bahkan untuk menyampaikannya pada kalian pun hatiku sudah sakit”

Suara bergemuruh mulai terdengar, satu dengan yang lain mulai saling bertanya ada apa gerangan.

“Petani desa pemilik ladang ini,” Kata sang pendeta dengan suara gemetaran setengah sedih setengah marah, “Akan mengeringkan telaga kalian dan merubahnya menjadi sawah!”

Kekagetan dan kompak terdengar.
Telaga tempat mereka hidup dari satu generasi ke generasi akan dikeringkan, “Kita akan hidup dimana?” Kata seekor ikan.

“Tanpa telaga kita semua akan mati” Seekor kepiting menimpali.
“tenang… tenang… biarkan beliau melanjutkan dulu” Perintah si katak hijau.
“Hari ini juga” Kata sang bangau, “persiapkan diri kalian.
“Aku akan mengungsikan kalian pergi.
“Di balik bukit itu, di dekat pertapaanku ada sebuah telaga yang jernih dan luas, aku akan membawa kalian ke sana”

Kembali kerumunan ikan-ikan itu berbisik satu denan yang lain.

“Dan yang lebih penting” Lanjut sang pendeta, “Tidak pernah ada bangau yang datang ke sana.
“Inilah saatnya kalian menyongsong kehidupan baru”

“Tapi tentu saja kalian bebas memilih” lanjut sang pendeta lagi, “bergegas pergi atau diamlah di sini dan tunggu kematian menjemput kalian”
Mereka ragu. Mereka takut. Tapi mereka tidak punya pilihan.

“Tunggu apa lagi?” Kata si katak hijau, “Bergegaslah!”


Sekelompok ikan ditaruh diantara paruh sang pendeta bangau, lalu diterbangkannya dari telaga itu, beberapa ditempatkannya di mulut agar lebih banyak yang terangkut.

Tidak sedikit jumlah ikan di telaga itu, jadi tidak cukup sehari waktu yang dibutuhkan untuk mengangkut mereka.

“Kamu pergilah dulu” Kata seekor ibu ikan pada anaknya, karena sudah penuh daya angkut sang pendeta. Si anakpun dicengkeram dan dilarikan dengan tangisan karena berpisah dari ibunya.

Ikan yang masih tersisa menunggu dengan ketegangan. Petani desa itu bisa datang kapan saja, dan mereka bisa mati kapan saja, sementara hanya sang bangau yang bisa mereka harapkan untuk menyelamatkan jiwanya.

Si katak hijau, yang paling penakut diantara mereka, pergi paling awal, mengambil tempat di paruh bangau.
Mereka memang ketakutan, namun mereka juga senang, sebab telah dikirimkan pada mereka sosok penyelamat.


Hari ketiga, telaga itu sudah benar-benar sepi. Semua ikan dan penghuni telaga telah pergi dari sana, meninggalkan telaga yang menjadi rumah bagi begitu banyak keluarga penghuninya.

Tinggal seekor kepiting.

Kepiting itu yang dari awal membantu ikan-ikan untuk naik ke paruh bangau, menyelamatkan ikan-ikan iku terlebih dahulu. Dari penampakannya memang kelihatan kepiting itu baik budi, cerdas dan pemberani.

Di rela pergi paling belakang demi menolong ikan-ikan yang disiksa ketakutan. Bukan karena dia tidak puya rasa takut, tapi karena dia tidak membiarkan dirinya ditindas ketakutan.

Baginya, bukan bangau pemangsa atau petani desa yang menindas kehidupan mereka, tapi ketakutannya sendiri.

Toh, baginya, kematian adalah kepastian, jadi tidak dibiarkannya jiwa yang menjadi gairah kehidupannya mati terlalu dini karena rasa takut akan kematian itu sendiri.

“Mari, bergegaslah anakku” Sapa sang pendeta dengan wajah ramah seperti biasa setelah turun dari udara.
“Terimakasih, Ratu Pedanda” Kata kepiting, kemudian mendekat.

Betapa senangnya kepiting yang sedang terbang bersama pendeta bangau itu.
Kepiting terbang di atas bangau. Itu membuatnya tertawa dan bersyukur.

Dia menikmati hembusan angin yang bergulung-gulung dan menampar lembut kulitnya, pemandangan udara yang bisa ditangkap oleh matanya. Dia memang selalu tahu cara menikmati kehidupan.

Tapi….
Keceriaan wajahnya itu berubah saat ia mencapai daerah belakang bukit yang dijanjikan. Saat sang pendeta yang mempesona itu mulai turun dan merendahkan terbangnya.

Pemandangan yang dilihatnya benar-benar menyayat hati.

Tulang-tulang ikan. Kodok yang mati. Bangkai saudara-saudara setelaganya berserakan. Dia hampir tidak mempercayai matanya sendiri atas pemandangan yang disaksikannya itu.

Dia tahu tempat bangkai berserakan itu adalah kediaman sang pedanda. Dilihatnya tongkat sang pendeta dan beberapa genitrinya bergantungan di sana, diantara mayat-mayat ikan yang dibantunya naik ke paruh bangau itu.

“Kau…” Katanya dengan suara gemetaran, “Memakan mereka semua?”

Tersenyum licik, pendeta itu menjawab, “Kalian memang baru sadar setelah di ketinggian ini, kalian semua. Sadar saar sudah terlambat”

“Jadi, benar-benar kaulah yang membunuh mereka?” Kata si kepiting lagi berharap bukan pendeta yang telah dinobatkan sebagai juru selamat telagalah yang tega melakukan itu.

“Bukan anakku,”Sahut bangau itu dengan senyuman, “Bukan aku yang membunuh mereka, tapi diri mereka sendiri.

Ketakutan dan haparan merekalah yang membunuh mereka”

Seketika itu, kesedihan sang kepiting berubah menjadi amarah. Amarah yang tak terhingga.

Krekkkkk!!!

Dijepitnya leher bangau itu, sampai berteriak kesakitan, lalu mati setelah pontang panting mendarat diantara bangkai ikan yang dijadikannya makanan. Bangkai ikan-ikan yang berharap sosok penyelamat atas kehidupan mereka, bangkai ikan yang selalu dihantui ketakutan.

SELESAI
___________________________________________________________________________________
Footnote:
  1. Ketu: Mahkota yang biasa dipakai para pendeta
  2. Tetekan: Tongkat, biasanya para pendeta di Bali selalu membawa tongkat ini sebagai symbol penuntun dan pemberi jalan umat.
  3. Genitri: Tasbih yang dijadikan hiasan para pendeta dan digunakan untuk pemujaan.
  4. Ratu Pedanda: sebutan untuk pendeta di Bali

Unknown

Terima kasih atas kunjungan anda. Berharap coretan ini bermanfaat!!

Comments
0 Comments

 

Copyright MC2 @ 2015 Jejak Kaki.

MC2 ,