“Permisi!” Hampir serentak suara di teras depan rumah
disertai ketukan di pintu. Pagi itu pandanganku beradu dengan dua orang
setelah pintu terbuka.
“Sonia!, om Alfredo!, selamat datang di Indonesia!” sambutku spontan, sembari mempersilahkan masuk.
“Oh terima kasih, kukira kau sudah tak kenal kami lagi, bagaimana dengan bahasa Indonesiaku?” canda om Alfredo.
“Sangat baik tapi perlu latihan lagi.” sahutku dan suara tawa kamipun meledak.
Om Alfredo, aku mengenalnya semenjak masa kanak-kanak di bumi Timor
Lorosae. Seorang penduduk berdarah campuran porto tetun yang pernah
bertetangga denganku. Bertahun-tahun kami hidup damai berdampingan,
apalagi setelah Timor Lorosae diakui menjadi bagian integral Republik
Indonesia dengan nama propinsi Timor Timur. Namun sayang sekali
kedamaian tersebut tak berlangsung lama. Bermula ketika dimumkannya
hasil referendum nasib Timor Timur yang sebelumnya diberikan oleh
pemerintah Indonesia. Sungguh mencengangkan!, kubu pro kemerdekaan telah
dimenangkan mutlak oleh UNAMET yaitu lembaga bentukan PBB yang bertugas
mengawal proses referendum di propinsi ke-27 itu. Referendum terdiri
dari dua opsi yaitu pro kemerdekaan dan pro otonomi.
Saat itu 4 September 1999, Sabtu Pahing tepat pukul 09.15 waktu
Indonesia Timur. Massapun mengamuk, benturan-benturan fisik berskala
besarpun terjadi antara warga pro otonomi dan pro kemerdekaan yang
diiringi perusakan, pembakaran dan penjarahan massal. Asap kebakaran
mengepul di mana-mana. Kerusuhanpun merebak hingga ke seluru penjuru.
Tak ayal lagi sebagian besar sarana dan prasarana bangunan milik
masyarakat maupun pemerintah hancur total dan korban jiwapun berjatuhan.
Warga pro otonomi yang selama 23 tahun berintegrasi dengan Indonesia,
membawa bukti-bukti kuat tentang kecurangan UNAMET dalam membantu warga
pro kemerdekaan. Anggota UNAMET yang mayoritas warga Australia dituntut
dan diancam agar tidak meninggalkan lokasi mereka di 13 kabupaten di
seluruh wilayah Timor Timur. Apapun alasannya, nyatanya dunia
internasional dibawah pimpinan Amerika Serikat dan sekutunya sangat
menekan pemerintah kami. Australiapun sangat berambisi memposisikan
dirinya sebagai polisi Asia.
Kami benar-benar tidak siap menghadapi kekecewaan ini, kami semua
merasa dikhianati oleh pihak asing. Siapa sangka bahwa hasil referendum
yang jelas-jelas diwarnai kecurangan sistematis tersebut tak pernah
diinvestigasi oleh pihak-pihak yang terkait baik dari dalam negeri
maupun luar negeri. Semua bungkam sejuta bahasa. Padahal bukti-bukti
tersebut tercatat secara kronologis, yaitu dari mulai berdatangannya
polisi Australia yang tak ingin dicampuri oleh pihak Indonesia. Mereka
berdalih agar dapat bekerja independen. Rupanya ini hanyalah siasat
undercover operasi intelijen. Kegiatan-kegiatan spionase menjadi
pemandangan sehari-hari. Hasutan, bujuk rayu serta iming-iming mereka
lontarkan pada warga pro otonomi bahkan tak jarang berakhir dengan
intimidasi dan kekerasan. Sekali lagi tak satupun anggota Komnas HAM
dalam dan luar negeri berteriak. Terkuak setelah hasil referendum,
banyak ditemukan kertas suara pro kemerdekaan luar biasa banyaknya dan
kertas suara pro otonomi banyak yang dirusak serta masih sangat banyak
kecurangan dalam bentuk lain.
Detik itu pula, kami yang telah lama mendiami Timor Timur dan
mencintai tanah kelahiran kami dipaksa untuk meninggalkannya, mengungsi
keluar wilayah Timor Timur secepatnya. Dengan pengawalan tentara dan
polisi banyak di antara kami mengungsi hanya dengan pakaian melekat di
tubuh, meninggalkan rumah dan harta benda. Banyak juga dari kami
menghancurkan atau membakar harta bendanya daripada dijarah dan
dinikmati oleh kelompok pro kemerdekaan. Rumah-rumah warga pro otonomi
telah dikuasai secara beringas dengan berbagai ancaman, ditambah dengan
kehadiran sekelompok tentara Timor Falintil bersenjata lengkap yang
keluar dari persembunyian menambah suasana makin mencekam. Bukan hanya
harta benda yang menjadi jarahan tetapi juga harkat dan martabat
manusia. Kami menjadi sasaran amukan warga pro kemerdekaan. Banyak pula
keluarga harus rela kehilangan anggotanya dan terpisah, bahkan turut
menjadi korban jiwa selama kerusuhan terjadi. Begitu pula diriku,
kulepas kedua orang tuaku mengungsi. Aku berusaha mengejar keduanya yang
bergegas menaiki truk tentara.
“Berlakulah sebagai prajurit profesional!” Ayah segera pergi dengan
langkah pasti menuju ke arah truk tanpa menoleh lagi. Hanya suara
tangisan pilu para pengungsi termasuk ibuku. Rengekan bayi-bayi dan
anak-anak yang belum mengerti politik sangat menyayat hati siapa saja.
Aku mengenal almarhum ayahku sangat dekat. Seorang mantan Marinir
yang banyak malang melintang bertugas di medan tempur. Beliau termasuk
sosok prajurit yang loyalitasnya tidak diragukan!, begitu mendapat
perintah pindah dinas ke Timor Lorosae, dengan lapang dada hal itu
diterima. Di bumi Lorosae aku lahir, tanah tumpah darahku yang tak
terlupakan.
—
“Aku turut berduka cita atas wafatnya ayahmu.” Terpancar rasa
kedukaan yang mendalam di wajah om Alfredo, setelah dia mengetahui kabar
itu dari kerabatnya.
Om Alfredo, sempat membuat diriku terguncang dan marah serta kecewa,
hingga tak pernah melupakan peristiwa yang membuatku memandang dunia ini
dari banyak sisi. Saat itu aku dan para tentara yang lain mempersiapkan
kendaraan pengungsi menuju perbatasan. Di tengah-tengah penjagaan
tentara Australia dan Timor Falintil, mataku melihat seorang pria akrab
dengan mereka, sungguh sukar dipercaya!. Belakangan kuketahui ternyata
dia adalah salah seorang tokoh klandestin bekas Tropaz, salah satu unit
tentara Timor Portugis, nama lain Timor Timur sebelum integrasi. Setiba
di Indonesia kuceritakan hal ini pada ayah.
“Dia punya cara perjuangan sendiri.”
“Tapi ini pengkhianatan!”
“Siapa yang dikhianati, apa kau merasa dirugikan?”
Aku terdiam menebak-nebak jalan pikiran beliau.
“Suatu saat kau akan tahu, dia memiliki jalan sendiri, begitu pula kau
dan aku, sama-sama memiliki kepentingan, mempercayai apa yang kita
yakini.”
Aku belum bisa menerima kenyataan, bahkan di saat-saat kekacauan
terjadi. Ternyata banyak warga pribumi Timor yang semula pro otonomi
berbalik menjadi pro kemerdekaan, apakah ini yang disebut perjuangan?
atau mungkinkah hanya sekedar mencari selamat dan aman?
“Sudah biasa hal seperti itu, mengatasnamakan perjuangan, tugas tentara
adalah berperang demi perintah tapi tidak memerangi umat manusia! Kapan
berperang dan kapan berdamai kau harus tahu itu!” jelas ayah seakan
membaca jalan pikiranku.
Setelahnya aku tak pernah membicarakan hal itu lagi. Ayahku adalah
keturunan trah tulen menak Sumedang, hanya karena intrik klasik dalam
keluarga ningrat, ayah harus rela meninggalkan tanah kelahirannya dan
menjadi orang kebanyakan. Mendaftar sebagai prajurit rendahan yang
dimasa itu hanya pantas untuk kalangan rakyat jelata. Namun beliau
merasa nyaman dengan kehidupan barunya, yang tidak pernah dijumpai
semasa hidup dalam kungkungan tata cara keraton. Seorang prajurit
sejati, yang berpesan tidak ingin dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
karena memang bukan itu yang beliau cari. Perjuangan hanya demi bangsa
dan negara bukan untuk yang lain, apalagi hanya mengukir nama sendiri.!
“Oh Ibu dan kakak adikmu?” Dia mencoba berbicara ringan.
“Semua baik, ibu dan adikku Silvia Singorejo menetap di Amsterdam.”
“Oh gadis bule itu!”.
Silvia Singorejo, sebenarnya bukan adik kandungku. Ayah mendapatinya
sewaktu masih bayi lemah di hamparan rumput tanah lapang. Entah dibuang
atau akibat korban kekerasan dari pihak-pihak yang bertikai di masa itu.
Meskipun dia bayi porto yang bisa saja anak dari musuh tetapi ayah dan
ibu tidak mempedulikannya. Bagai anak kandung mereka membesarkannya.
Bagiku kearifan ayah melebihi jenderal bintang lima. Dengan welas asih
ibu merawat dan menjaganya.
“Keluarga sehatkah?” tanyanya menyelidik setelah melihat bingkai foto
yang tergantung di dinding. Foto kedua putriku bersama diriku.
“It’s over.”
“ehm,.. I’m so sorry.”
Rumah tanggaku bubar hanya karena aku dan isteri berbeda paham. Aku
hanyalah seorang tentara rendahan, sementara mantan isteriku adalah
seorang pengusaha keturunan Arab-Jawa. Selalu ada saja kesalahpahaman
karena istri kental dengan pengaruh budaya Barat yang diperoleh saat
kuliah S2 di Jerman. Menurutku budaya Barat yang hanya mengejar materi
kurang cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia. Suatu hari dia
menginginkan diriku meneruskan usaha sarang burung walet abinya. Maaf
aku lebih mencintai diriku seperti saat ini, menjalani kehidupan sebagai
seorang tentara yang sederhana. Sempat terlintas dalam anganku bahwa
bisa saja berbisnis sembari bekerja tapi bagaimana mungkin akan menjadi
profesional jika ditengah-tengah rutinitas pekerjaan, yang melulu muncul
dalam benakku adalah segebok pundi-pundi rupiah? bahkan Euro?!.
Profesionalkah? Alangkah kasihan rakyat yang telah memberi amanah kepada
tentara semacam itu. Profil tentara yang ideal menurut anggapanku
sederhana dan bersahaja.
Lima tahun rumah tanggaku bertahan, kedua buah cinta kami yaitu Sekar
Arum Jagad dan Lintang Pamungkas berada dalam pengasuhan mantan
istriku, Vierra Kharami. Sebenarnya dia adalah ibu yang baik tetapi
pandangan dan prinsip kami sudah tidak mungkin berjalan dalam satu rel!
Aku tidak pernah menyesal karena aku meyakini ini adalah jalan hidup,
banyak orang menganggap diriku bodoh, tapi hanya Tuhanlah yang tahu.
Jalan hidup tiap orang berbeda, kalau ada sebagian tentara hidup
bergelimang kemewahan, mungkin memang itu nasib yang harus mereka
peroleh, nasib seorang manusia. Demi mengabdi pada negara kujauhkan diri
dari kemewahan. Kutelan mentah-mentah dogma dan indoktrinasi secara
total, terutama tentang perilaku berorganisasi, karena disinilah letak
keteraturan manajemen organisasi. Apa jadinya kalau seorang bawahan
kurang ajar terhadap atasan hanya karena sang atasan adalah kawan dekat
apalagi sanak famili, tentu ini pelecehan terhadap institusi. Profesi
harus dijunjung tinggi, adil terhadap siapa saja, tidak ada kawan dekat
apalagi sanak famili yang harus kita lindungi ketika melakukan
kesalahan. Stick and Carrot, titik!.
Aku anak bangsa yang berjanji dalam hati akan mengawal tegaknya
kedaulatan negara ini, sejarah membuktikan bahwa bangsa yang besar akan
runtuh hanya dengan infiltrasi budaya dari luar secara sistematis, bukan
dengan peperangan besar. Diawali dari hal-hal kecil yang remeh seperti
pemberian nama anak cucu kita! Mengapa sekarang nama-nama bangsa
Indonesia yang asli telah punah? Apakah nama “Jihan” atau “Maria”
terdengar lebih merdu daripada nama “Lestari”?. Itulah sebabnya kedua
anakku masing-masing satu tahun baru kunamai ciri khas Indonesia. Sangat
disayangkan pula bahwa “kebaya” yang merupakan identitas nasional
pakaian wanita Indonesia harus berganti dengan “cadar” atau pakaian
Eropa. Negara-negara benua Amerika saja yang lantang menobatkan dirinya
menjadi bangsa baru, namun penduduknya mengakui keanekaragaman warisan
Eropa! Mengapa di Amerika bisa mempertahankan budaya negara-negara
Eropa? Sedangkan kita? Dari nama-nama mereka kecuali warga kulit hitam,
masih bisa diketahui kalau mereka imigran bekas bangsa Eropa. Sungguh
aku malu bangsaku! padahal Sutasoma berabad-abad yang lampau telah
menyebut “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”.
Keanekaragaman
budaya adalah hal yang biasa dalam kehidupan bernegara. Mengapa kita
harus menyeragamkan semua itu? Mudah-mudahan bangsa ini segera
disadarkan dari kemerosotan moral, setidaknya cita-cita mengembalikan
identitas bangsa dimulai dari hal yang paling kecil! Mimpi luar biasa
dari seorang prajurit biasa, tapi aku akan selalu bermimpi meski hanya
seorang diri.
Putra Angkasa namaku! Nama sakral yang memiliki legenda tersendiri.
Tigapuluh Tujuh tahun yang silam di pagi buta ketika ibu hendak
melahirkanku ke rumah bidan, ayah yang mengantar dan mengemudikan mobil
melihat burung rajawali terbang membelah angkasa. Atas saran beliau nama
itu diberikan. Putra Angkasa yang telah membuat udara berdetak.
“Oh my God, kau masih menyimpan foto kita semasa perjuangan dulu?!”
tatapan tajam mata Sonia beradu denganku. Sedari tadi dia asyik
memandangi jajaran bingkai foto di pojok ruang tamu yang banyak
bercerita tentang keindahan bumi Lorosae.
Sonia Dora, sepuluh tahun aku mengenalmu hingga negara Timor Leste terbentuk kitapun harus terpisah jauh.
—
“You’re always keep on my mind,” meluncur deras begitu saja dari
bibirku, sebentuk kalimat yang tidak pernah kuucapkan sebelumnya, sehari
sebelum propinsi Timor Timur diserahkan ke UNTAET. Di tengah-tengah
kekacauan dan tidak ada keteraturan tatanan, aku berhasil menemukanmu
dengan semboyan reguler, alternatif dan emergensi. Mendapatkan dirimu di
senja itu.
“Suatu hari nanti, kalau Tuhan memberikan umur panjang semoga kita dipertemukan lagi!” pintamu.
“I must go!, aku akan merindukanmu.”
—
Timor Timur selamat tinggal! Iring-iringan kendaraan pasukan melewati
jalan perbatasan menuju Atambua. “Invasi Road” begitu jurnalis barat
menyebut jalan itu. Jalan yang dibangun oleh Tentara dan Polisi
sekaligus menandai program ABRI Masuk Desa. Infiltrasi dan eksfiltrasi
selama perang berlangsung juga melalui jalan itu. Dari sana pulalah “The
Blue Jeans Soldier” memulai aksinya dan selalu meninggalkan untold
story bagi generasi berikutnya. Operasi Seroja lebih mendekati operasi
intelijen terpadu daripada operasi militer. Prestasi, pangkat dan
jabatan serta kisah-kisah heroik diperoleh sebagian orang sementara
banyak orang harus meratapi kegetiran nasib.
—
Pagi hari 30 September 1999, Kamis Pon jam 9 tepat Waktu Indonesia
belahan Timur, Provinsi Timor Timur dipaksa lepas dari pangkuan ibu
pertiwi. Lepas karena campur tangan negara-negara besar yang secara
sistematis menekan pemerintahan kami baik dari segi ekonomi, politik dan
militer. Dengan teganya mereka memboikot perdagangan dan embargo
alutsista militer di saat-saat negaraku sedang mengalami krisis
multidimensi yang melelahkan. Di kancah internasional, mereka tak
henti-hentinya berkampanye tentang status Timor Lorosae. Perang
Psikologispun berlangsung. Ironisnya dari dalam negeripun sekelompok
orang yang mengaku cerdik cendekia ikut menyuarakan kemerdekaan bagi
provinsi termuda itu. Ada apa dengan kalian? Mana jiwa ksatria? Rupanya
mereka memilih berperan sebagai Gunawan Wibisana yang dengan tega
mengorbankan wilayah tanah air diacak-acak oleh agresor. Mengapa tidak
memilih menjadi Kumbakarna? “Baik buruk ini adalah negaraku, setiap ada
ancaman asing akan kuhadapi!”.
Ibu pertiwi sedang menangis, setelah terjungkalnya rezim otoriter
akibat krisis moneter 1997, setiap saat negeri ini selalu diwarnai
guncangan aksi-aksi demonstrasi anarkis yang tak berujung pangkal,
provokasi-provokasi dari LSM yang didanai pihak asing, pemberitaan media
informasi yang tak berimbang sampai aksi-aksi mahasiswa yang
ditunggangi oleh kelompok-kelompok tertentu bahkan rongrongan gerakan
separatis di beberapa daerah atau konflik horisontal bernuansa SARA
semakin menambah lemah negeriku. Kejahatan tradisional dan kejahatan
modernpun muncul berdampingan tanpa ada penegakan hukum yang dapat
memberi efek jera. Para pemimpin yang seharusnya menjadi suri tauladan
tidak dindahkan lagi oleh rakyat. Tentara dan Polisi yang mengawal
jalannya reformasi justru dihujat dan dicaci. Euforia yang kebablasan!
Dan yang hampir sukar di nalar, berkembang isu bahwa di perairan
Selandia Baru sejumlah pasukan tempur multinasional bersiap-siap
memasuki wilayah Indonesia jika nasib Timor-Timur benar-benar berlarut.
Fakta akan selalu berkata jujur, bahwa sudah terlalu banyak bangsa
Indonesia berkorban demi sejengkal tanahnya, begitu banyak harta, jiwa
dan raga yang telah diserahkan. Putra-putri terbaik bangsa berguguran
demi semangat nasionalisme menjaga keutuhan Timor Lorosae setelah
disyahkannya Deklarasi Balibo yang dimotori oleh Amerika Serikat
berdasar ketakutannya terhadap komunis di Pasifik. Lepasnya Timor-Timur
adalah suatu pelajaran yang sangat berharga, bahwa negeri ini secara
Geopolitik dan ekonomi sangat diperhitungkan oleh kekuatan asing.
Bangsaku yang besar, negeriku yang sentosa sering kudengar saat dongeng
menjelang tidur.
Timor Lorosae selamat berpisah semoga kebersamaan selama ini akan
menjadi kenangan yang terindah dalam perjalanan bangsa Indonesia, sampai
jumpa di lain waktu. Hati nuranimu akan selalu berkata jujur bahwa kami
telah merawat dan membesarkanmu dengan sekuat tenaga meskipun kelak
sejarah yang kau tulis dapat saja bertutur lain.
Dari pemberitaan televisi terlihat mantan para pelaku perang dari
kedua belah pihak saling bersalaman bahkan berangkulan mesra bak kawan
lama padahal dulunya mereka saling bermusuhan. Perang telah usai! Tidak
ada lagi pahlawan dan pengkhianat. Takkan ada lagi sebutan pejuang dan
pemberontak!
Air mata para mantan pejuang Seroja dan keluarganya bercucuran!
Mungkinkah terharu, kecewa ataupun marah? Entahlah, sebuah resiko yang
harus dijalani. Kakak sulungku seorang guru harus kehilangan anak dan
istrinya karena teror orang tak dikenal selama integrasi. Kakak kedua
mendapat penghargaan Kopral Anumerta. Berkat pengorbanannya sang
Komandan mendapat promosi jabatan. Perang untuk siapa? Jawaban jujur
tentu beraneka ragam.
—
Pantulan cahaya bulan yang menerangi rerumputan, seakan-akan memantul
padaku. Kulirik Sonia di samping sedang termangu menatap kerlap-kerlip
lampu taman kota. Tiada kata-kata yang perlu kami perbincangkan lagi,
bibir kami membisu mungkin hanya hati yang bicara. Malam bertambah
temaram! Perlahan kuberanjak dari bangku taman. Kugerakkan tanganku
untuk kesekian kalinya mendorong kursi rodamu, persis ketika kita masih
di bumi Lorosae. Terima kasih Tuhan…, walaupun kami lahir dan tumbuh
dalam lingkungan berbeda, tetapi lewat kasih-Mu kami bisa bersahabat
tanpa ada prasangka suku, agama, ras dan golongan. Kursi roda pemberian
ayah ketika kau divonis lumpuh menyiratkan pesan bahwa kami tidak akan
pernah terpedaya oleh kotak-kotak golongan yang telah diciptakan oleh
manusia. Seringkali kita terjebak dalam sekat “Siapa Aku Siapa Dirimu”,
sehingga membentengi serta menghalangi kita sebagai khalifah di muka
bumi untuk berbuat baik kepada sesama tanpa pamrih.
Kilauan bintang-bintang di angkasa raya ikut menyaksikan kami
menyusuri jalan sepanjang taman, sungguh gagah dan menawannya kalian,
bertengger di ketinggian dan takkan ada yang bisa menjamahnya. Ingin
kupetik salah satu, akan tetapi kalian semakin meninggi hingga semakin
sulit kugapai. Seandainya kalian bisa bersuara mungkin saat ini sedang
menertawaiku, menertawai apa yang sedang kupikirkan. Pungguk merindukan
bulan dan bintang. Kopral Putra Angkasa Nata Negara trah terakhir
Sumedang Larang.
—
“Mengapa kau memilih mendaftar tamtama? Mengapa tidak mendaftar perwira?”
“Tidak!”
“Kau takut menjadi pemimpin?”
“Pemimpin adalah panutan bagi bawahan segala tindak-tanduk adalah cermin bagi bawahan!”
“Lantas?”
“Aku akan lebih siap menjadi tamtama dan memimpin diriku sendiri!”
—
Dialog itu terngiang kembali, dibawah guyuran hujan deras di teras
depan rumah, dua pemuda Ramos Matanruak dan Putra Angkasa. Ramos
sahabatku, pemuda polos lagipula sederhana itu kini menjadi jenderal
militer Timor Leste yang disegani sekaligus dihormati.
“Adigang, adigung, adiguna takkan pernah ada dalam kamusku Putra
Angkasa!” Kubaca pesan singkatmu di ponsel, hmm … mungkin Sonia telah
memberikan pin dan nomerku padanya. Adigang, adigung, adiguna sebuah
filosofi jawa yang dulu pernah kuperkenalkan padanya. Jika seseorang
telah mencapai kesuksesan kadang-kadang dapat tergelincir merasa tinggi,
merasa terhormat dan merasa dapat berbuat apa saja. Ironisnya di antara
mereka dulu banyak yang berasal dari keluarga kere alias miskin,
makanya ada sindiran “Kere munggah Bale”. Orang miskin yang naik kasta
dan tak tahu diri pula.
“Itu khan hanya untuk pria?” tukas Sonia setelah menguping pembicaraan kami.
“Oke.. khusus wanita Adigunawati saja!” kataku tak mau kalah.
“Adigunawati sudah mencakup adigang, adigung dan itu lebih dahsyat
ketika yang bersangkutan menjadi isteri pejabat alias bisa berbuat
semaunya atas restu suami!”
“huuuu..!” kompaknya paduan suara saudara kakak beradik itu. Kebetulan atau tidak, setelahnya kilat dan guntur menggelegar.
—
Langit hitam nun jauh di atas sana, banyak bintang bertaburan namun
yang bersinar hanyalah satu. Malam inipun aku masih mengantongi sepucuk
surat darimu beberapa hari yang lalu. Sonia… 13 tahun sudah kita tak
pernah bertemu, dan adalah hal yang tak pernah kuduga bahwasannya dengan
kehendak Tuhan saat ini kita dipertemukan.
“Selamat jalan Om dan Sonia”. Sepenggal kata dariku malam ini juga,
setiba mengantarnya di lobby hotel. Sampai jumpa lagi entah kapan.
Terlalu banyak kenangan di bumi Lorosae dan takkan begitu saja terhapus
dalam memoriku. Saat-saat bersama suka dan duka dengan orang-orang yang
penuh kasih, juga dengan mantan pejuang-pejuang integrasi dari berbagai
kalangan yang kini terlupakan. Salam Mahidi, Mati Hidup Demi Indonesia.
Sekian
Untuk para generasi muda jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Cerpen Karangan: Prabu Awang
Sumber: cerpenmu.com